Senin, 22 Juni 2009

Peran Manusia Islam dalam Ekonomi

Peran Manusia Islam Dalam Ekonomi

Islam Dan Ekonomi

Agama dan ekonomi saling berkaitan rapat antara satu dengan yang lain. Islam sebagai satu cara hidup yang lengkap yang merangkumi segala aspek kehidupan, berbeda dengan agama lain, dari segi menangani masalah ekonomi yang merupakan satu aspek dari system kehidupan yang menyeluruh. Apabila menjalani hidup berekonomi, umat Islam wajib mematuhi syari’at Allah S.W.T dalam bentuk amal, i’tikad dan akhlak.

Segala amalan ekonomi mestilah dirujuk pada perintah Allah dari segi halal / haram, wajib /sunnah. Disamping amalan dan keyakinan, Islam melengkapkan system ekonominya dengan ciri-ciri akhlak yang unik; seperti sifat ikhlas, jujur, amanah, ihsan, sabar, taqwa, silaturrahmi, tidak angkuh, tidak tamak, dan tidak dengki, semua itu semata-mata untuk mendapat keridhoan Allah SWT agar kebaikan hidup dalam bermasyarakat menjadi kelaziman.[1]

Kegiatan ekonomi Islam tidak boleh dipisahkan dari fiqh mu’amalat. Mu’amalat merupakan perhubugan social yang mengandung berbagai kegiatan ekonomi. Hal inilah yang mungkin dapat memberikan kelebihan ekonomi Islam jika dibandingkan dengan system ekonomi lainnya. Maka peran manusia Islam perekonomian ini sangat penting dan harus mengikuti norma-norma syari’at Islam.

Akidah merupakan dasar keseluruhan tatanan kehidupan dalam Islam, termasuk tatanan ekonomi. Tatanan dalam Islam merupakan bagian dalam akidah. Tugas tatanan adalah melindungi akidah, memperdalam akar-akarnya, menyebarluaskan cahayanya, dan membentenginya dari segala rintangan, serta merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ekonomi Islam bekerja sekuat tenaga untuk mewujudkan kehidupan yang baik dan sejahtera bagi manusia. Tapi sekali-kali Islam tidak setuju kalau kehidupan ini dijadikan tujuan akhir. Islam hanya setuju kalau kehidupan ini dijadikan tangga untuk mencapai kehidupan lebih tinggi dan lebih kekal. Juga untuk menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa mengkafirkan dan kelaparan yang bisa mendatangkan dosa. Juga untuk merendahkan suara orang-orang zalim diatas suara orang-orang beriman.

Norma dan Akhlak Manusia Dalam Perekonomian Islam

1. Hubungan Ekonomi Dengan Ketuhanan

Aktifitas ekonomi seperti produksi, distribusi, konsumsi, tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir untuk Tuhan. Kalau seorang muslim bekerja dalam bidang produksi maka itu tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah. Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an suart al-Mulk:15,

“ Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (al-Mulk:15)

Ketika ia menggunakan atau menikmati sesuatu di dunia ini secara tidak langsung ia juga telah beribadah dan memenuhi perintah Tuhan.

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah :168)

2. Norma istikhlaf Dalam Harta Allah

Norma ini menyatakan bahwa apa yang dimiliki manusia hanya titipan Allah. Seorang muslim percaya bahwa ia makhluk Allah. Ia bekerja di bumi Allah dengan kekuatan dari Allah, dan melalui sarana dari Allah. Ia bekerja sesuai dengan hukum kausalitas, dan ini pun perbuatan Allah. Maka apabila kemudian ia memproleh harta, itu adalah harta Allah yang dititipkan kepadanya. Allahlah yang menciptakan harta itu dan dialah pemilik sejati. Adapun manusia hanya sebagai penjaga amanah yang diberikan kepadaya.[2]

Orang kaya yang tidak menegakkan istikhlaf akan mendapat hukuman dari pemilik harta yang hakiki, yaitu Allah SWT. Pertama, hukuman tersebut dapat berbentuk musibah alam, seperti ditariknya kekayaan itu. Kedua, bisa berupa sanksi-sanksi yuridis yang ditetapkan lembaga pemerintas seperti hukuman cambuk bagi orang yang mengeluarkan harta untuk membeli dan meminum khamar atau mengisap narkotika. Atau tindakan tegas bagi lelaki yang menggunakan emas dan sutra, alat-alat dapur emas dan perak dan membeli patung-patung yang diharamkan, setidaknya ada undang-ndang sebagai landasan sanksi untuk pelanggaran tersebut.

Ketiga, yang lebih pedih dan berat dari pada kedua hukuman diatas adalah hukuman akhirat. Pada hari itu Allah akan menanyakan setiap orang yang memiliki harta, tentang hartanya: dari mana ia peroleh dan kemana ia salurkan?

"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).(at-Takatsur:8)

Pemikiran istikhlaf secara langsung telah membawa dampak positif terhadap kehidupan perekonomian dan social umat Islam. Diantaranya, mengurangi sikap sombong dan bangga. Harta itu tidak membuat pemiliknya menjadi lupa daratan. Tidak membuat golongan kaya bertindak semena-mena karena mereka yakin bahwa harta itu milik Allah, sedangkan kepemilikan oleh manusia hanya bersifat sementara.

Seorang muslim tidak akan mengatakan dengan sombong bahwa “ini hartaku”. Ia tidak akan berkata seperti Karun yang dengan congkak berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku” (al-Qashash: 78). Sebaliknya, seorang muslim yang paham benar bahwa harta itu milik Allah, dan akan selalu berkata seperti apa yang diucapkan Nabi Sulaiman: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba apakah aku bersyukur atau mengingkari nikmat-Nya.” (an-Nahl: 40)

Kedua, harta dianggap masalah yang ringan bagi pemiliknya. Jika diminta, si pemilik dengan mudah mengeluarkan harta itu. Ia tidak pernah menahan hartanya untuk di keluarkan demi menegakkan agama Allah. Ia dengan segera menafkahkan hartanya untuk membantu kaum lemah karena sebenarnya ia menafkahkan harta Allah untuk keluarga Allah dan jalan Allah.

Dapat disimpulkan bahwa semua harta yang ada di tangan manusia pada hakekatnya adalah kepunyaan Allah, karena Dia-lah yang menciptakannya. Akan tetapi, Allah memberikan hak kepada manusia untuk memanfaatkannya. Dengan kata lain, sesungguhnya Islam sangat menghormati hak milik pribadi, baik itu terhadap barang-barang konsumsi ataupun barang-barang modal. Namun pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain. Jadi kepemilikan dalam Islam tidak mutlak, karena sesungguhnya adalah milik Allah SWT. Seperti dalam firman Allah dalam surat an-Najm ayat 31:

Dan Hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang Telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga).

Seorang muzakki diwajibkan untuk mengeluarkan zakat dari sebagian hartanya. Karena ini adalah salah satu cara untuk mensucikan kembali harta yang telah ia peroleh. Dampak ekonomis aplikasi zakat, dalam implementasinya, zakat mempunyaiefek domino dalam kehidupan masyrakat. Diantaranya adalah:

ü Produksi ; zakat akan menimbulkan new demander petensial sehingga akan meningkatkan permintaan secara agregat yang pada akhirnya akan mendorong produsen untuk meningkatkan produksi guna memenuhi permintaan yang ada.

ü Investasi ; Peningkatan produksi akan mendorong perusahaan (firms) untuk meningkatkan investasi.

ü Lapangan Kerja ; peningkatan investasi mendorong perluasan produksi yang lebih besar dan akan membuka kesempatan kerja.

ü Pertumbuhan Ekonomi ; Peningkatan konsumsi secara agregat dan peningkatan investasi, akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi.

ü Kesenjangan social ; Zakat juga berperan dalam mendistribusikan pendapatan khususnya dalam mengurangi kesenjangan (gap) pendapatan yang pada akhirnya akan mengurangi kesenjangan social.

Hubungan ekonomi dan moral manusia dalam Islam

Ada beberapa larangan manusia Islam terhadap ekonomi, yaitu;[3]

ü Larangan terhadap pemilik dalam penggunaan hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas harta orang lain atau kepentingan masyarakat. Nabi Muhammad bersabda: “Tidak boleh merugikan diri sendiri dan juga orang lain.” (HR. Ahmad)

ü Larangan melakukan penipuan dalam transaksi. Seperti perkataan Nabi Muhammad: “orang-orang yang menipu kita bukan termasuk golongan kita”

ü Larangan menimbun (menyimpan) emas dan perak atau sarana-sarana moneter lainnya, sehingga mencegah peredaran uang, karena uang sangat diperlukan untuk mewujudkan kemakmuran perekonomian dalam masyarakat. Menimbun (menyimpan) uang berarti menghambat fungsinya dalam memperluas lapangan produksi dan penyiapan lapangan kerja buat para buruh.

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,”

ü Larangan melakukan pemborosan, karena akan menghancurkan indivudu dalam masyarakat.

Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang untuk mensejahterakan dirinya, tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan masyarakat secara umum. Dan hal ini harus diseimbangkan antara kepentingan individu dengan kepentingan umum.

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (al-Hasyr: 7)

Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer (dharuriyyat), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat) secara proporsional. Tentu saja Islam harus memastikan hanya memproduksi sesuatu yang halal dan bermanfaat untuk masyarakat (thayyib). Dan tarjet yang harus dicapai secara bertahap adalah kecukupan setiap individu, swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk mencukupi umat dan bangsa lain.[4]

Konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat.

Dan Islam selalu mengajarkan bahwa sebaik-baiknya orang adalah orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain atau masyarakat. Fungsi beribadah dalam arti luas ini tidak mungkin dilakukan bila seseorang tidak bekerja atau berusaha. Dengan demikian, bekerja dan berusaha itu menempati posisi dan peranan yang sangat penting dalam Islam.

Referensi

· Kastin Surtahman, Ahmad Sanep, Ekonomi Islam (Dasar dan Amalan). Dawama Sdn. Bhd Kuala Lumpur 2005.

· Qardhawi Yusuf, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, gema insani, Jakarta 1997

· Nasution Edwin Musthafa dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana



[1]Kastin Surtahman, Ahmad Sanep, Ekonomi Islam (Dasar dan Amalan). Dawama Sdn. Bhd Kuala Lumpur 2005. Hal.16

[2] Qardhawi Yusuf, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, gema insani, Jakarta 1997. Hal.41

[3] Nasution Edwin Musthafa dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana. Hal. 22

[4] Nasution Edwin Musthafa dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana. Hal: 107

Tidak ada komentar:

Posting Komentar