Senin, 22 Juni 2009

Analisa Fatwa Tentang Kebolehan Revenue Sharing

ANALISA FATWA TENTANG KEBOLEHAN REVENUE SHARING

A. Seputar Bank Syari’ah

Bank syaria’h mulai digagas di Indonesia pada awal periode 1980-an, di awali dengan pengujian pada skala bank yang relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman, Bandung. Dan di Jakarta didirikan dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.[1]Berangkat dari sini, Majlis Ulama’ Indonesia (MUI) berinisiatif untuk memprakarsai terbentuknya bank syari’ah, yang dihasilkan dari rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, dan di bahas lebih lanjut dengan serta membentuk tim kelompok kerja pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.[2]

Keberadaan bank syariah diakui secara tegas sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian keberadaan bank syariah dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia, dan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang bank syariah, yang sekaligus menjadi prinsip operasional bank syariah. Selain itu bank syariah juga mendasarkan prinsip operasionalnya pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 danUndang-undang Nomor 23 Tahun 1999 menjadi dasar hukum bagi keberadaan dual banking system di Indonesia, yaitu adanya dua sistem (konvensional dan syariah) yang beroperasi dalam sebuah bank.

Prinsip operasional bank syariah adalah prinsip bagi hasil (profit and loss sharing).

B. Pengertian Bagi Hasil

Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.

Selain itu bagi hasil juga diartikan sebagai laba (profit) dan bagi rugi (loss) dari suatu hasil (revenue) dari usaha perhitungan-perhitungan yang disebut mudharabah.[3]

Dalam dunia perbankan bagi hasil adalah keuntungan atau hasil dengan diperoleh dari pengelolaan dana baik investasi maupun transaksi jual beli yang diberikan kepada nasabah dengan persyaratan, yaitu:[4]

  • Perhitungan bagi hasil disepekati menggunakan pendekatan atau pla revenue sharing dan profit loss sharing.
  • Waktu dibagikannya bagi hasil harus disepakati diawal akad dan tercantum dalam akad.
  • Nasabah akan menanggung konsekwensinya yang berakibat pada tidak memperoleh atau menerima bagi hasil apabila bank rugi dan menanggung kerugian yang berdampak berkurangnya nilai uang yang diinvestasikan atau mungkin tidak kembalinya uang yang diinvestasikan apabila system yang digunakan adalah profit loss sharing.

Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah terdiri dari dua sistem, yaitu:

a. Profit Sharing

b. Revenue Sharing

1. Pengertian Profit Sharing

Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba.[5] Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost).[6]

Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari totalpendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.[7] Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.

Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama[8] sesuai porsi masing-masing.

Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah dilakukannya.

Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance.[9] Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue.

2. Pengertian Revenue Sharing

Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti bagi atau bagian.[10] Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan.

Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue).[11]

Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut.[12]

Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan.[13]

Berdasarkan devinisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit).

Berbeda dengan revenue di dalam arti perbankan. Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank.[14]

Revenue pada perbankan Syari'ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank.[15]

Perbankan Syari'ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.[16]

Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.[17] Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.[18]

C. Macam-macam Jenis Sistem Bagi Hasil

  1. Musyarakah

Secara bahasa syirkah atau musyarakah berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal lain sehingga tidak apat dipisahkan satu sama lain. Dalam istilah fiqih syirkah adalah suatu akad antara dua orang atau lebih untuk berkongsi modal dan bersekutu dalam keuntungan.[19]

Musyarakah (syirkah) adalah percampuran dana untuk tujuan pembagian keuntungan.

Transaksi ini dilandasi oleh adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua modal di satukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan di kelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.[20]

Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasa­ma dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment) , atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.[21]

Landasan hukum syari’ahnya adalah:

    • Al-Qur’an surah As-shaad (38) : 24
    • Al-Hadits[22]“Dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Allah SWT berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya” (hadits riwayat Abu Daud dan disahkan oleh hakim)
  1. Mudharabah

Adalah bentuk akad kerjasama antara dua pihak atau lebih, dimana pemilik modal (shohibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengansuatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal shahhhibul maal dan keahlian dari mudharib.

Dalam mudharabah modal hanya berasal dari salah satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. Jika obyek yag di danai ditentukan oleh pemilik modal, maka kontrak tersebut dinamakan mudharabah al muqayyadah.[23] Karakteristik mudharabah muqayadah pada dasarnya sama dengan persyaratan di atas. Perbedaannya adalah terletak pa­da adanya pembatasan penggunaan modal sesuai dengan per­mintaan pemilik modal.

Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab un­tuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan se­bagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk mengelola mo­dal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.

Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal ha­nya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah mo­dal berasal dari dua pihak atau lebih. musyarakah dan mudhar­abah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak ha­rus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan me­rusak ajaran Islam.[24]

  1. Muzara’ah

Adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan di pelihara dengan imbalan bagian tertentu (presentase) dari hasil panen.[25]

Muzara’ah sering di identikkan dengan mukhabarah. Diantarakeduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut: pada muzara’ah benihnya yang akan ditanam dari pemilik lahannya, sedangkan pda mukhabarah benihnya dari penggarap.

4. Musaqah

Adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah di mana si penggarap hanya bertangggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalannya, si penggarap berhak atas nisbah (bagi hasil) tertentu dari hasil panen.

Landasan syari’ah dari musaqah adalah:

· Al-Hadits: ”dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar mereka pelihara dengan perjanjian mereka akan memberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan, maupun dari hasil tanaman (palawija).” (HR. Muslim)

D. Fatwa DSN-MUI No.15/DSN-MUI/IX/2000

DSN MUI telah mengeluarkan fatwa yang menetapkan tentang bagi hasil (revenue sharing) yaitu pada fatwa No.15/DSN-MUI/IX/2000 tentang prinsip distribusi bagi hasil dalam lembaga keuangan syari’ah. Dasar hukum fatwa tersebut terdapat dalam:

· Al-Qur’an surah al-Baqarah : 282:

· Al-Qur’an surah al-Maidah : 1:

· Hadits riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:

“perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharanmkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”

· Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya:

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain”

· Kaidah fiqih yang artinya: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. Dan kaidah fiqh lain: “Dimana terdapat kemaslahatan, disana terdapat hukum Allah”

E. ANALISA FATWA KEBOLEHAN REVENUE SHARING

Berdasarkan dalil-dalil dan setelah menelaahnya maka DSN menetapkan fatwa tentang distribusi hasil usaha dalam LKS antara lain:

  1. Pada dasarnya LKS boleh menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) maupun bagi untung (profit sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitra (nasabah) nya sesuai dengan akad yang telah disepakati oleh kedua belah pihak atau lebih. Bila salah seorang menetapkan sendiri penetapan tentang pola bagi hasil usaha yang akan digunakan namun pihak lain juga harus menyetujui penetapan itu.

Diperbolehkannya kedua sistem tersebut dengan melihat bahwa baik prinsip bagi hasil (revenue sharing) atau bagi untung (profit sharing) belum ditemukan dalil nash yang mengharamkan atau melarang prinsip tersebut.

  1. Dilihat dari segi kemaslahatannya (al-ashlah), pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing). Karena pada prinsip sistem profit sharing yang di dalam penerapannya banyak kendala, diantaranya adalah sulitnya pengakuan atau estimasi biaya yang dikeluarkan dalam usaha, serta rumitnya pola pembagiannya pada prinsip perbankan modern, maka pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) yang akan memberi kemudahan bagi kedua belah pihak dalam pembagian perolehan hasil usaha.
  2. Prinsip bagi hasil (revenue sharing) atau bagi untung (profit sharing) adalah termasuk dalam muamalah. Dalam kaidah fiqih, semua muamalah itu diperbolehkan kecuali bila ada dalil yang mengharamkan tentang prinsip bagi hasil (revenue sharing) dan bagi untung (profit sharing) maka kedua prinsip tersebut boleh digunakan dalam LKS.
  3. Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.

Revenue pada perbankan syari’ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank.[26]

Revenue di dalam arti perbankan yaitu jumlah dari pengasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pijaman maupun titipan yang diberikan oleh bank.[27]

F. Kelebihan dan Kelemahan Profit and Loss Sharing dan Revenue Sharing

Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dalam system Profit and Loss Sharing dan Revenue Sharing

1. Kelebihan system Profit and Loss Sharing dan Revenue Sharing

Kelebihan dari system Profit and Loss Sharing dan system Revenue Sharing dibandingkan dengan system konvensional adalah:

    • Merupakan alat yang terbaik untuk menghapus bunga dalam berbagai macam transaksi dan pembiayaan jangka pendek.
    • Tingkat investasi lebih tinggi karena diberikan penawaran yang memadai terhadap dana-dana yang dapat dipinjamkan, karena pengusaha dapat mengabaikan kepastian bagian hasil usaha yang diberikan kepada pemberi pinjaman yang disebabkan ketidak tentukan hasil produksinya.

2. Kelemahan system Profit and Loss Sharing dan Revenue Sharing.

· Kelemahan system Profit and Loss Sharing

Kelemahan system profit and loss sharing dalam penerapannya menyebabkan berbagai problem yang berkaitan dengan penggunaan profit and loss sharing dalam aktivitas investasi bank-bank Islam.

Berdasarkan teori perbankan Islam kontenporer, prinsip mudharabah dan musyarakah dijadikan sebagai alternative penerapan system bagi hasil (profit and loss sharing). Meskipun demikian, dalam prakteknya, ternyata signifikasi profit and loss sharing dalam memainkan operasional investasi dana bank peranannya sangat lemah. Menurut beberapa pengamat perbankan Islam, hal ini terjadi karena beberapa alasan, diantaranya:[28]

a) Standar moral

Terdapat anggapan bahwa standar moral yang berkemang di kebanyakan komunitas muslim tidak memberikan kebebasan penggunaan profit and loss sharing sebagai mekanisme investasi. Hal ini berdasarkan argumentasi yang mendorong bank untuk mengadakan pemantauan lebih intensif terhadap setiap investasi yang diberikan. Yang demikian itu membuat operasional perbankan berjalan tidak ekonomis dan tidak efisien. Berdasarkan alasan ini bank-bank Islam menggunakan pembiayaan profit and loss sharing yang diberikan setelah melakukan pemantauan yang mendalam terhadap bisnis yang akan dijalankan, dana hanya akan diberikan kepada partner yang efisien dalam mengelola bisnis,jujur dalam melakukan transaksi, proyek usaha yang dijalankan adalah profitable, serta pembiayaan usaha tersebut umumnya untuk jangka pendek dan bukan untuk pembiayaan jangka panjang serta bukan pembiayaan untuk lembaga.

b) Ketidak efektifan model pembiayaan profit and loss sharing

Pembiayaan profit and loss sharing tidak melayani berbagai macam kebutuhan pembiayaan dari ekonomi kontemporer. Meskipun demikian, profit and loss sharing yang diterapkan dalam bentuk mudharabah dan musyarakah merupakan alat yang terbaik untuk menghapus bunga dalam berbagai macam transaksi dan pembiayaan jangka pendek. Namun kemungkinan untuk dilaksanakan ke dalam kredit institusional menjadi terlambat. Berbagai problem yang berkaitan dengan aplikasinya membuat prinsip mudharabahdan musyarakah pada level kredit institusional benar-benar tidak dapat di pakai. Alasannya adalah meningkatnya permintaan pinjaman pemerintah untuk anggaran belanjanya, dengan demikian permintaan pemakaian pinjaman dengan mengggunakan sistem profit and loss sharing menjadi tidak terpenuhi.

c) Berkaitan dengan para pengusaha

Keterkaitn bank dengan peminjam, system profit and loss sharing dalam membantu perkembangan usaha lebih bnyak terlibat secara langsung dari pada system lainnya pada bank konvensional. Bank-bank Islam memerlukan informasi lebih detail tentang aktivitas bisnis yang mereka biayai dan besar kemungkinan pihak bank turut mempengaruhi setiap pengambilan keputusan bisnis partnernya. Pada sistem lain, keterlibatan yang tinggi ini akan mengecilkan naluri pengusaha yang sebenarnya lebih memita kebebasan yang luas dari pada campur tangan dalam menggunakan dana yang mereka pinjamkan.

d) Dari segi biaya

Memberikan dana berdasarkan system bagi hasil profit and loss sharing memerlukan kewaspadaan yang lebih tinggi dari pada pihak bank dalam menyalurkan dana-dananya. Bank-bank Islam kemungkinan besar meningkatkan kualitas kepegawaian mereka dengan cara mempekerjakan para teknisi dan ahli manajemen untuk mengevaluasi proyek usaha yang mereka pinjami untuk mencermati lebihteliti dan lebih jeli dari pada teknis peminjaman pada bank konvensional. Ini akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh para banker dalam menjaga efisiensi kinerja perbankannya yang secara langsung akan berimbas terhadap pengembalian dana pinjaman. Hal ini akan menimbulkan beban yang lebih besar terhadap pemakai dana tersebut. Tambahan biaya yang dikeluarkan oleh para banker yang digunakan untuk menjaga efektifitas operasional perbankan Islam kemungkinan akan menghasilkan biaya ekstra yang di tanggung oleh partner ketika mengembalikan dana pinjaman yang berdasarkan sistem bagi hasil profit and loss sharing.

e) Dari segi teknis

Problem teknis menyangkut penggunaan system bagi hasil profit an loss sharing tampaknya berkaitan dengan pihak bank, nasabah (partner), dan kualkulasi keuntungan (profit calculation). Pada satu sisi dari bank Islam sendiri, profesional pegawai pada saat itu dari segi keahlian dan pengetahuan yang luas tentang perilaku aktifitas ekonomi yang berguna untuk memprediksi keuntungan yang akan diperoleh pada tiap-tiap jaringan serta mengetahui secara menyeluruh tentang keadaan keuangan investor dan komitmennya dalam menjalankan proyek usaha. Dari pihak nasabah (partner), kebutahurufan yang kebanyakan masih menyelimuti masyarakat dunia muslim akan jelas menyulitkan untuk membuat catatan-catatan akuntan yang mendetail. Permintaan untuk membuat catatan-catatan akuntansi yang mendetail sulit dipenuhi, yang menjadikan masyarakat lebih suka menggunakan sistem pembiayaan di bank konvensional dari pada mengalami masalah membuat buku pegangan yang mendetail.

Kalkulasi keuntungan dalam menggunakan sistem bagi hasil profit and loss sharing juga mengalami kesulitan. Meskipun di dalam khazanah fiqih di jelaskan mengenai petunjuk perhitungan keuntungan tersebut, namun kenyataannya dalam praktek kelihatannya tidak ada keseragaman di antara bank-bank Islam mengenai cara melakukan perhitungan keuntungan, yang dalam istilah akuntannya bersifat subyektif. Berbagai macam cara perhitungan keuntungan ini berpangkal dari dalam penempatan pada modal aktifa dan tanggungan pasiva. Penilaian ini tergantung pada beberapa faktor, diantaranya tingkat penurunan modal tertentu modal tertentu, serta kebijakan mengenai kebijakan cadangan dan persediaan. Oleh karenanya, dlam bisnis yang sama dapat menunjukkan keuntungan yang berbeda tanpa menaruh curiga, adanya kesalahan dalam perhitungan.

f) Kurang menariknya system profit and loss sharing dalam aktiva bisnis

Dalam lapangan bisnis dan industri, biaya yang dikeluarkan dari dana-dana yang diperoleh berdasarkan sistem profit and loss sharing tidak diketahui secara jelas dan pasti. Hal ini akan menimbulkan terbongkarnya rahasia keuangan mereka oleh pihak bank juga intervensi bank teradap urusan manajemn mereka. Keadaanini sangat berbeda dengan sistem pembiayaan berdasarkan bunga, dimana modalnya aman terjaga, pendapatan yang diperoleh pasti, dan biaya pinjaman diketahui dengan jelas.

g) Permasalahan efisiensi

Tingkat investasi mungkin lebih tinggi di bawah sistem profit and loss sharing dari pada sistem lainnya, karena dalam system profit and loss sharing diberikan penawaran yang memadai terhadap dana-dana yang dapat dipinjamkan. Karena pengusaha dapat mengabaikan kepastian bagian hasil usaha yang diberikan kepada pemberi pinjaman yang disebabkan ketidak tentuan hasil produksinya, serta tidak adanya kekhawatiran terjadinya penyelewengan dana pinjaman terhadap investasi yang riil. Kesanggupan para pemberi pinjaman untuk turut menanggung resiko kemungkinan akan mendorong investasi lebih beresiko. Meskipun kesanggupan ini juga akan mengurangi penekanan biaya-biaya untuk efisiensi kelangsungan bisnis yang pada tingkat kepentingan tertentu cukup mengesankan.

· Kelemahan Revenue Sharing

Sedangkan sistem revenue sharing menagandung kelemahan, yaitu apabila tingkat pendapatan bank sedemikian rendah maka bagisn bank, setelah pendapatan didistribusikan oleh bank, tidak mampu membiayai kebutuhan operasionalnya (yang lebih besar dari pada pendapatan fee) sehingga merupakan kerugian bank dan membebani para pemegang saham sebagai penanggung kerugian. Sementara para penyandang dan atau investor lain tidak akan pernah menanggung kerugian akibat biaya operasional tersebut. Dengan kata lain, secara tidak langsung bank menjamin nilai nominal nasabah, karena pendapatan paling rendah yang akan dialami oleh bank adalah nol dan tidak mungkin terjadi pendapatan negatif. Selain belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip syari’ah, sistem revenue sharing tidak berbeda statusnya dengan wadi’ah yang oleh karena itu tidak dapat di kategorikan sebagai kuasi ekuitas.

Referensi

· Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah; Wacana Ulama’ dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 1999). h. 278

· Murasa Sarkani putra, makalah ini di sampaikan pada acara In House Training, Investasi Bagi Untung (IBU): Format perhitungan Bagi Hasil. (Jakarta: UIN Syahid, Nov 2003)

· Muhammad, Pelatihan Perbankan Syari’ah (Jakarta Tazkia Institute, 2002)

· Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002) h. 101

· Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1994)Edisi ke-2 , h. 534

· Akmal Yahya, Profit Distribution. http//www.ifibank.go.id

· Dewan Syari'ah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syari'ah, Ed. 1, Diterbitkan atas Kerjasama Dewan Syari'ah Nasional-MUI dengan Bank Indinesia, 2001

· Tim pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia

· Syamsul Falah, Pola Bagi Hasil pada Perbankan Syari’ah, Makalah disampaikan pada seminar ekonomi Islam, Jakarta, 20 Agustus 2003

· PKES, Buku Saku

· Bakhrul Muchtasib, Skripsi konsep dan Aplikasi Revenue Sharing dalam perbankan Syari’ah,2003

· Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Cet. Ke-1



[1] Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah; Wacana Ulama’ dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institut dan Bank Indonesia, 1999). h. 278

[2] ibid

[3] Murasa Sarkani putra, makalah ini di sampaikan pada acara In House Training, Investasi Bagi Untung (IBU): Format perhitungan Bagi Hasil. (Jakarta: UIN Syahid, Nov 2003)

[4] Muhammad, Pelatihan Perbankan Syari’ah (Jakarta Tazkia Institute, 2002)

[5] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002) h. 101

[6] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1994)Edisi ke-2 , h. 534

[7] Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah, (Jakarta : Djambatan, 2001), h. 264

[8] Murasa Sarkaniputra, Direktur Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Surat Tanggapan atas surat MUI, Jakarta, 29 April 2003. h. 3

[9] Syamsul Falah, Pola Bagi Hasil pada Perbankan Syari’ah, Makalah disampaikan pada seminar ekonomi Islam, Jakarta, 20 Agustus 2003

[10] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia, 1995), Cet. ke-21

[11] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1994), Edisi ke-2, h. 583

[12] Murasa Sarkaniputra (Direktur Pusat Pengkajian dan Pengambangan Ekonomi Islam), surat kepada Ketua Umum MUI, tentang fatwa MUI No.15/DSN-MUI/IX/2000, Tgl 18 Februari 2003

[13] Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Op.cit., h. 473

[14] Akmal Yahya, Profit Distribution. http//www.ifibank.go.id

[15] Ibid

[16] Dewan Syari'ah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syari'ah, Ed. 1, Diterbitkan atas Kerjasama Dewan Syari'ah Nasional-MUI dengan Bank Indinesia, 2001, h. 87

[17] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Lok.Cit.

[18] Akmal Yahya, Lok.Cit

[19] Tim pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia. Hal.180

[20] PKES, Buku Saku, hal 5

[21] http://stiem.blogspot.com/2008/11/buku-saku-perbankan-syariah

[22] Moh. Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap. (Semarang: CV. Toha Putra.1978) hal.422

[23] PKES, Buku saku, hal 5-6

[24] http://stiem.blogspot.com/2008/11/buku-saku-perbankan-syariah

[25] Muhammad Syafi’I Antonio. Hal.139

[26] ibid

[27] Bakhrul Muchtasib, Skripsi konsep dan Aplikasi Revenue Sharing dalam perbankan Syari’ah,2003. hal 25

[28] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Cet. Ke-1, hal 128.

Peran Manusia Islam dalam Ekonomi

Peran Manusia Islam Dalam Ekonomi

Islam Dan Ekonomi

Agama dan ekonomi saling berkaitan rapat antara satu dengan yang lain. Islam sebagai satu cara hidup yang lengkap yang merangkumi segala aspek kehidupan, berbeda dengan agama lain, dari segi menangani masalah ekonomi yang merupakan satu aspek dari system kehidupan yang menyeluruh. Apabila menjalani hidup berekonomi, umat Islam wajib mematuhi syari’at Allah S.W.T dalam bentuk amal, i’tikad dan akhlak.

Segala amalan ekonomi mestilah dirujuk pada perintah Allah dari segi halal / haram, wajib /sunnah. Disamping amalan dan keyakinan, Islam melengkapkan system ekonominya dengan ciri-ciri akhlak yang unik; seperti sifat ikhlas, jujur, amanah, ihsan, sabar, taqwa, silaturrahmi, tidak angkuh, tidak tamak, dan tidak dengki, semua itu semata-mata untuk mendapat keridhoan Allah SWT agar kebaikan hidup dalam bermasyarakat menjadi kelaziman.[1]

Kegiatan ekonomi Islam tidak boleh dipisahkan dari fiqh mu’amalat. Mu’amalat merupakan perhubugan social yang mengandung berbagai kegiatan ekonomi. Hal inilah yang mungkin dapat memberikan kelebihan ekonomi Islam jika dibandingkan dengan system ekonomi lainnya. Maka peran manusia Islam perekonomian ini sangat penting dan harus mengikuti norma-norma syari’at Islam.

Akidah merupakan dasar keseluruhan tatanan kehidupan dalam Islam, termasuk tatanan ekonomi. Tatanan dalam Islam merupakan bagian dalam akidah. Tugas tatanan adalah melindungi akidah, memperdalam akar-akarnya, menyebarluaskan cahayanya, dan membentenginya dari segala rintangan, serta merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ekonomi Islam bekerja sekuat tenaga untuk mewujudkan kehidupan yang baik dan sejahtera bagi manusia. Tapi sekali-kali Islam tidak setuju kalau kehidupan ini dijadikan tujuan akhir. Islam hanya setuju kalau kehidupan ini dijadikan tangga untuk mencapai kehidupan lebih tinggi dan lebih kekal. Juga untuk menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa mengkafirkan dan kelaparan yang bisa mendatangkan dosa. Juga untuk merendahkan suara orang-orang zalim diatas suara orang-orang beriman.

Norma dan Akhlak Manusia Dalam Perekonomian Islam

1. Hubungan Ekonomi Dengan Ketuhanan

Aktifitas ekonomi seperti produksi, distribusi, konsumsi, tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir untuk Tuhan. Kalau seorang muslim bekerja dalam bidang produksi maka itu tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah. Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an suart al-Mulk:15,

“ Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (al-Mulk:15)

Ketika ia menggunakan atau menikmati sesuatu di dunia ini secara tidak langsung ia juga telah beribadah dan memenuhi perintah Tuhan.

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah :168)

2. Norma istikhlaf Dalam Harta Allah

Norma ini menyatakan bahwa apa yang dimiliki manusia hanya titipan Allah. Seorang muslim percaya bahwa ia makhluk Allah. Ia bekerja di bumi Allah dengan kekuatan dari Allah, dan melalui sarana dari Allah. Ia bekerja sesuai dengan hukum kausalitas, dan ini pun perbuatan Allah. Maka apabila kemudian ia memproleh harta, itu adalah harta Allah yang dititipkan kepadanya. Allahlah yang menciptakan harta itu dan dialah pemilik sejati. Adapun manusia hanya sebagai penjaga amanah yang diberikan kepadaya.[2]

Orang kaya yang tidak menegakkan istikhlaf akan mendapat hukuman dari pemilik harta yang hakiki, yaitu Allah SWT. Pertama, hukuman tersebut dapat berbentuk musibah alam, seperti ditariknya kekayaan itu. Kedua, bisa berupa sanksi-sanksi yuridis yang ditetapkan lembaga pemerintas seperti hukuman cambuk bagi orang yang mengeluarkan harta untuk membeli dan meminum khamar atau mengisap narkotika. Atau tindakan tegas bagi lelaki yang menggunakan emas dan sutra, alat-alat dapur emas dan perak dan membeli patung-patung yang diharamkan, setidaknya ada undang-ndang sebagai landasan sanksi untuk pelanggaran tersebut.

Ketiga, yang lebih pedih dan berat dari pada kedua hukuman diatas adalah hukuman akhirat. Pada hari itu Allah akan menanyakan setiap orang yang memiliki harta, tentang hartanya: dari mana ia peroleh dan kemana ia salurkan?

"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).(at-Takatsur:8)

Pemikiran istikhlaf secara langsung telah membawa dampak positif terhadap kehidupan perekonomian dan social umat Islam. Diantaranya, mengurangi sikap sombong dan bangga. Harta itu tidak membuat pemiliknya menjadi lupa daratan. Tidak membuat golongan kaya bertindak semena-mena karena mereka yakin bahwa harta itu milik Allah, sedangkan kepemilikan oleh manusia hanya bersifat sementara.

Seorang muslim tidak akan mengatakan dengan sombong bahwa “ini hartaku”. Ia tidak akan berkata seperti Karun yang dengan congkak berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku” (al-Qashash: 78). Sebaliknya, seorang muslim yang paham benar bahwa harta itu milik Allah, dan akan selalu berkata seperti apa yang diucapkan Nabi Sulaiman: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba apakah aku bersyukur atau mengingkari nikmat-Nya.” (an-Nahl: 40)

Kedua, harta dianggap masalah yang ringan bagi pemiliknya. Jika diminta, si pemilik dengan mudah mengeluarkan harta itu. Ia tidak pernah menahan hartanya untuk di keluarkan demi menegakkan agama Allah. Ia dengan segera menafkahkan hartanya untuk membantu kaum lemah karena sebenarnya ia menafkahkan harta Allah untuk keluarga Allah dan jalan Allah.

Dapat disimpulkan bahwa semua harta yang ada di tangan manusia pada hakekatnya adalah kepunyaan Allah, karena Dia-lah yang menciptakannya. Akan tetapi, Allah memberikan hak kepada manusia untuk memanfaatkannya. Dengan kata lain, sesungguhnya Islam sangat menghormati hak milik pribadi, baik itu terhadap barang-barang konsumsi ataupun barang-barang modal. Namun pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain. Jadi kepemilikan dalam Islam tidak mutlak, karena sesungguhnya adalah milik Allah SWT. Seperti dalam firman Allah dalam surat an-Najm ayat 31:

Dan Hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang Telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga).

Seorang muzakki diwajibkan untuk mengeluarkan zakat dari sebagian hartanya. Karena ini adalah salah satu cara untuk mensucikan kembali harta yang telah ia peroleh. Dampak ekonomis aplikasi zakat, dalam implementasinya, zakat mempunyaiefek domino dalam kehidupan masyrakat. Diantaranya adalah:

ü Produksi ; zakat akan menimbulkan new demander petensial sehingga akan meningkatkan permintaan secara agregat yang pada akhirnya akan mendorong produsen untuk meningkatkan produksi guna memenuhi permintaan yang ada.

ü Investasi ; Peningkatan produksi akan mendorong perusahaan (firms) untuk meningkatkan investasi.

ü Lapangan Kerja ; peningkatan investasi mendorong perluasan produksi yang lebih besar dan akan membuka kesempatan kerja.

ü Pertumbuhan Ekonomi ; Peningkatan konsumsi secara agregat dan peningkatan investasi, akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi.

ü Kesenjangan social ; Zakat juga berperan dalam mendistribusikan pendapatan khususnya dalam mengurangi kesenjangan (gap) pendapatan yang pada akhirnya akan mengurangi kesenjangan social.

Hubungan ekonomi dan moral manusia dalam Islam

Ada beberapa larangan manusia Islam terhadap ekonomi, yaitu;[3]

ü Larangan terhadap pemilik dalam penggunaan hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas harta orang lain atau kepentingan masyarakat. Nabi Muhammad bersabda: “Tidak boleh merugikan diri sendiri dan juga orang lain.” (HR. Ahmad)

ü Larangan melakukan penipuan dalam transaksi. Seperti perkataan Nabi Muhammad: “orang-orang yang menipu kita bukan termasuk golongan kita”

ü Larangan menimbun (menyimpan) emas dan perak atau sarana-sarana moneter lainnya, sehingga mencegah peredaran uang, karena uang sangat diperlukan untuk mewujudkan kemakmuran perekonomian dalam masyarakat. Menimbun (menyimpan) uang berarti menghambat fungsinya dalam memperluas lapangan produksi dan penyiapan lapangan kerja buat para buruh.

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,”

ü Larangan melakukan pemborosan, karena akan menghancurkan indivudu dalam masyarakat.

Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang untuk mensejahterakan dirinya, tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan masyarakat secara umum. Dan hal ini harus diseimbangkan antara kepentingan individu dengan kepentingan umum.

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (al-Hasyr: 7)

Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan primer (dharuriyyat), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat) secara proporsional. Tentu saja Islam harus memastikan hanya memproduksi sesuatu yang halal dan bermanfaat untuk masyarakat (thayyib). Dan tarjet yang harus dicapai secara bertahap adalah kecukupan setiap individu, swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk mencukupi umat dan bangsa lain.[4]

Konsep produksi di dalam ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih penting untuk mencapai maksimalisasi keuntungan akhirat.

Dan Islam selalu mengajarkan bahwa sebaik-baiknya orang adalah orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain atau masyarakat. Fungsi beribadah dalam arti luas ini tidak mungkin dilakukan bila seseorang tidak bekerja atau berusaha. Dengan demikian, bekerja dan berusaha itu menempati posisi dan peranan yang sangat penting dalam Islam.

Referensi

· Kastin Surtahman, Ahmad Sanep, Ekonomi Islam (Dasar dan Amalan). Dawama Sdn. Bhd Kuala Lumpur 2005.

· Qardhawi Yusuf, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, gema insani, Jakarta 1997

· Nasution Edwin Musthafa dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana



[1]Kastin Surtahman, Ahmad Sanep, Ekonomi Islam (Dasar dan Amalan). Dawama Sdn. Bhd Kuala Lumpur 2005. Hal.16

[2] Qardhawi Yusuf, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, gema insani, Jakarta 1997. Hal.41

[3] Nasution Edwin Musthafa dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana. Hal. 22

[4] Nasution Edwin Musthafa dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Kencana. Hal: 107