Senin, 22 Juni 2009

Analisa Pengenaan Jaminan (Collateral) Dalam Pembiayaan Mudharabah

ANALISA PENGENAAN JAMINAN (COLLATERAL) DALAM PEMBIAYAAN MUDHARABAH

A. PENGERTIAN MUDHARABAH

Mudharabah berasal dari bahasa arab “dlarb” yang secara etimologis memiliki banyak arti antara lain memukul, bergerak, berjalan, bepergian. Diartikan demikian karena pada zaman dahulu dharib harus bepergian jauh untuk melakukan kegiatan komersial dengan maksud mencari keuntungan.[1]

Secara terminology istilah mudharabah menurut ulama fiqih diartikan sebagai perjanjian dimana seseorang memberikan hartanya kepada orang lain berdasarkan prinsip dagang dimana keuntuungan diperoleh berdasarkan kesepakatan oleh kedua belah pihak, misalnya ¼, ½ dari keuntungan yang diperoleh.[2] Maka kesimpulan dari definisi tersebut bahwa konsep mudharabah berdasarkan kesepakatan untuk berbagi keuntungan ataupun kerugian.

Istilah dalam bahasa praktisnya adalah system bagi hasil atau profit and loss sharing. UU Perbankan yang baru yaitu UU No. 10 tahun 1998 menjelaskan bahwa “pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”

Dari uraian secara etimologi maupun terminology dapat disimpulkan bahwa mudharabah merupakan suatu transaksi pembiayaan perbankan islam yang dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu yang memiliki dan menyediakan modal untuk membiayai usaha yang memerlukan pembiayaan, pihak ini disebut Shahibul Maal, sedangkan pihak yang memerlukan modal untuk menjalankan usahanya maka pihak ini disebut Mudharib.

B. DASAR HUKUM


Ulama’ ahli hukum Islam ada empat yaitu; Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad bin Idris Asyy-Syafi’I, Imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hambal, mereka semua ini berpendapat bahwa mudharabah hukumnya jaiz (boleh) karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan orang yang membutuhkan modal. Atas dasar saling tolong menolong dalam pengelolaan modal itu. Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang mempunyai keterampilan dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.

Alasan yang dikemukakan para ahli fiqih tentang kebolehan dalam bentuk kerja sama ini adalah:

1. Al-qur’an

Al-qur’an adalah kalam Allah yang di turunkan kepada nabi Muhammad sebagai mu’jizat terbesar bagi beliau dan dapat dijadikan hujjah (argumentasi) untuk memperkuat kebenaran beliau sebagai Rasulullah. Al-qur’an juga merupakan undang-undang yang mengatur seluruh umat manusia.[3]


“… Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah …” (Al-Muzammil/73 : 20)

“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah/62:10)

”Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (Al-Baqarah/2 : 198)

2. Hadits

Hadits adalah hal-hal yang datang dari Rasulullah baik berupa ucapan, perbuatan, maupun taqrir (persetujuan).[4]

Seperti pada hadits riwayat Thabrani yang artinya: “ diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sayyidina Abbas bin abdul Muthalib, “Jika memberikan dana kewirausahaannya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa menyebrangi lautan, menuruni lembah yang berbahaya dan membeli hewan ternak. Jika menyalahi aturan tersebut, maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikan syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah, dan beliaupun membolehkannya.” (H.R. Thabrani)

Hadits tersebut merupakan hadits Taqririyah (persetujuan) yaitu perbuatan beberapa orang sahabat yang melakukan perdagangan dengan mudharabah dan Rasulpun setuju. Persetujuan beliau ini tidak mesti dengan pernyataan secara lisan, tetapi cara membiarkan saja sudah dianggap sebagai persetujuan atau dapat juga dikatakan beliau tidak melarang dan tidak pula menganjurkan.[5]

3. Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan para ulama’ pada suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhadap rukun syara’ tentang suatu masalah atau suatu kejadian.[6]

Para ulama’ telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap lagitimasi pengolahan harta anak yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat, para ulama’ fiqih menetapkan bahwa mudharabh apabila sudah memenuhi rukun dan syaratnya maka hukumnya adalah boleh.[7]

Bila para ulama’ telah sependapat menyatakan tentang dibolehkannya hukum mudharabah maka hal tersebut dapat dijadikan hujjah.

4. Qiyas

Qiyas adalah menyamakan suatu peristiwa yang belum ada hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada hukumnya. Qiyas dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum Islam, dalam hal ini mudharabah di qiyaskan dengan musaqah.[8]

Mudharabah di qiyaskan dengan musaqah (kerja sama menjaga tanaman) sebab di butuhkan manusia, karena ada orang yang kaya tetapi tidak mampu mengelola kekayaannya, ada juga orang yang tidak mempunyai harta tetapi ia mampu menggunakannya sebagai modal. Dengan adanya mudharabah maka dapat membantu kedua belah pihak dalam memenuhi kebutuhan mereka, ini sesuai dengan tujuan hukum persetujuan Islam yaitu demi kepentingan manusia dan memenuhi kebutuhan mereka.[9]

C. RUKUN MUDHARABAH

Faktor- faktor yang harus ada (Rukun) dalam akad mudharabah adalah:[10]

  1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
  2. Objek Mudharabah (modal dan kerja)
  3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab dan qobul)
  4. Nisbah keuntungan

Pelaku.

Dalam akad Mudharabah harus ada minimal dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (Shahibul Maal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil).

Objek

Objek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan bias berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangnkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, menejeman skill dan lain- lain.

Persetujuan

Yaitu persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip an taroddin minkum (sama-sama rela). Disni kedua belah pihak harus secara suka rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Sipemlik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerjanya.

Nisbah keuntungan

Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatka imbalan atas kerjanya, sedangkan shahibul maal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.

D. NISBAH KEUNTUNGANNYA

  1. Prosentase

Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nominal rupiah tertentu. Jadi nisbah keuntunganm itu misalnya adalah 50:50, 70:30, atau 60:40 atau bahkan 99:1. jadi nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan porsi setoran modal tertentu dapat saja bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar porsi setoran modal. Nisbah keuntungan tidak boleh dinyatakan dalam bentuk nominal rupiah tertentu misalnya shahibul maal mendapat Rp 50,000,00, sedangkan mudharib mendapat Rp 50,000,00.

  1. Bagi untung dan bagi rugi

Dalam kontrak investasi (natural uncertainty contracts) return and timing cash flow kita tergantung kepada kinerja sector riilnya. Bila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang lebih besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian yang lebih kecil pula. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba yang ditentukan dalam bentuk prosentase bukan dalam bentuk nominal rupiah tertentu.

Bila bisnis dalam akad mudharabah ini mendatangkan kerugian, pembagian kerugian itu bukan didasarkan atas nisbah, tapi berdasarkan pada porsi modal masing- masing pihak. Itulah alasannya mengapa nisbahnya disebut nisbah keuntungan, bukan nisbah saja, yakni karena nisbah 50:50 atau 99:1 itu hanya diterapkan bila bisnisnya untung. Bila bisnis rugi, kerugannya itu harus dibagi berdasarkan porsi modal masing- masing pihak, bukan berdasarkan nisbah.

  1. Jaminan

Para fuqoha berpendapat bahwa pada prinsipnya tidak perlu dan tidak boleh mensyaratkan agunan sebagi jaminan, sebagaimana dalam akad syirkah lainnya. Jelas hal ini konteksnya adalah business risk

Sedangkan untuk character risk, mudharib pada hakikatnya menjadi wakil dari shahibul maal dalam mengelola dana dengan seijin shahibul maal, sehingga wajiblah baginya berlaku amanah. Jika mudharib melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam merawat dan menjaga dana, yaitu melakukan pelanggaran, kesalahan, dn kelewatan dalam perilaku yang tidak termasuk bisnis mudhrabah yang disepakati, atau ia keluar dari ketentuan yang disepakati, mudharib tersebut harus menanggung kerugian mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggung jawabnya. Ia telah menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku dzalim karena Ia telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan kepadanya diluar ketentuan yang disepakati. Mudharib tidak pula berhak untuk menentukan sendiri mengambil bagian dari keuntungan tanpa kehadiran atau sepengetahuan shahibul maal sehingga shahibul maal dirugikan.

Untuk menghindari adanya moral hazard dari pihak mudharib yang lalai atau menyalahi kontrak ini, maka shahibul maal diperbolehkan meminta jaminan tertentu kepada mudharib. Jaminan ini akan disita oleh shahibul maal jika ternyata timbul kerugian karena mudharib melakukan kesalahan, yaitu lalai dan atau ingkar janji. Jadi tujuan pengenaan jaminan dalam akad mudharabah adalah untuk menghindari moral hazard mudharib, bukan untuk “mengamankan” nilai investasi kita ketika terjadi kerugian karena factor resiko bisnis. Tegasnya bila kerugian yang timbul disebabkan karena factor resiko bisnis jaminan mudharib tidak dapat disita oleh shahibul maal.

  1. Menentukan besarnya nisbah

Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak yang berkontrak. Jadi angka besaran nisbah ini muncul sebagai hasil tawar menawar antara shahibul maal dengan mudharib. Dengan demikian angka nisbah ini bervariasi.

Jika dalam perbankan tawar menawar nisbah antara pemilik modal (investor atau deposan) dengan bank syariah hanya terjadi bagi deposan atau investor dengan jumlah besar, karena mereka memiliki daya tawar yang relative tinggi. Kondisi ini disebut sebagai special nisbah. Sedangkan untuk nasbah deposa n kecil biasanya tawar menawar biasanya tidak terjadi. Bank syariah hanya akan mencantumkan nisbah yang ditawarkan, setelah itu deposan boleh setuju boleh juga tidak. Jika ia setuju maka ia akan melanjutkan menabung. Bilatidak setuju maka ia dipersilahkan mencari Bank Syariah lain yang menawarkan nisbah yang lebih menarik.

  1. Cara menyelesaikan kerugian

Jika terjadi kerugian cara menyelesaikanya adalah:

  1. Diambil terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan merupakan pelindung modal
  2. Bila kerugian melebihi keuntungan, baru diambil dari pokok modal.

E. Analisa Agunan/Jaminan (Collateral) dalam Pembiayaan Mudharabah

Dalam pembiayaan mudharabah, bank menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja secara penuh atau 100 %, sedangkan nasabah atau pengelola dana menyediakan proyek atau usaha lengkap dengan manajemennya tanpa campur tangan bank, namun bank mempunyai hak untuk melakukan pengawasan. Keuntungan yang diperoleh dalam pembiayaan mudharabah dilakukan melalui tingkat perbandingan rasio (nisbah), sedangkan jika terjadi kerugian, bank yang menanggungnya kecuali jika kerugian itu dikarenakan kelalaian dan kesalahan nasabah, maka kerugian itu ditanggung oleh nasabah. Sedangkan pada musyarakah pihak bank menyediakan sebagian dari pembiayaan bagi usaha tertentu dan sebagian disediakan oleh mitra usaha. Pada pembiayaan musyarakah, bank dapat ikut serta dalam proses manajemen usaha yang dibiayainya. Pembagian keuntungan pada prinsipnya didasarkan atas prosentase modal yang diberikan masing-masing pihak, yakni pihak bank dan nasabah. Adapun jika terjadi kerugian, masing-masing pihak ikut menanggung kerugian sebanding dengan penyertaan modalnya, kecuali jika kerugian itu akibat kelalaian atau kesalahan nasabah, maka kerugian tersebut ditanggung oleh nasabah.

Hal penting lainnya yang perlu disinggung adalah berkenaan dengan jaminan. Pasal 8 UU 10/1998 menyatakan kewajiban bagi bank dalam memberikan pembiayaan syariah, mempunyai keyakinan berdasarkan analisis mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur mengembalikan pembiayaan. Terdapat lima pokok yang perlu dikaji seksama oleh Bank sebelum memberi fasilitas pembiayaan terhadap nasabahnya, yakni: watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha.

Agunan merupakan salah satu kewajiban yang dipersyaratkan Undang-undang untuk diperjanjikan antara Bank dengan Nasabahnya dalam pembiayaan. Agunan sendiri ditetapkan menjadi 2 jenis, yang wajib serta agunan tambahan. Agunan wajib dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan pembiayaan. Sedangkan agunan tambahan adalah barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai.

Dalam perspektif syariah, pengambilan jaminan diperkenankan. Prinsip Rahn, dalam prakteknya biasa dipergunakan baik sebagai perjanjian untuk menggadaikan barang atau sebagai jaminan. Secara tradisional, pengecualian hanya ditentukan atas akad yang bersifat bagi hasil, yakni: Mudharabah dan Musyarakah. Artinya untuk Mudharabah dan Musyarakah, jaminan bagi pengembalian modal merupakan hal yang tidak sah. Namun perkembangan di dalam praktek perbankan syariah, dan telah masuk ke dalam peraturan perundangan-undangan, jaminan bagi Mudharabah dan Musyarakah pun diperkenankan. Fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) menyatakan pada Ketetapan Pertama: Ketentuan Pembiayaan butir 7: Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.

Kemudian di Ketentuan nomor 3 huruf a butir 3 Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, menyatakan:

Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

Begitu pun dalam PBI 7/46/PBI/2005 Pasal 6 huruf o untuk Mudharabah dan Pasal 8 huruf o untuk Musyarakah, menetapkan:

”Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan/atau kecurangan”.

Kesimpulan dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah Bank dalam memberikan pembiayaan Mudharabah atau Musyarakah diperkenankan mengambil jaminan, tetapi pencairannya hanya dapat dilakukan bilamana Nasabah:

· terbukti melakukan pelanggaran (penyimpangan) terhadap syarat dan kondisi akad;

· lalai; dan/atau

· curang.

Hal ini berarti, khusus untuk pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah, jaminan tidak berfungsi sebagai Second Way-Out, pengganti pengembalian modal yang ditanamkan Bank di usaha/proyek Nasabah. Tetapi sebagai ganti rugi adanya pelanggaran, kelalaian dan kecurangan Nasabah. Faktor analisis resiko inilah yang membedakan fungsi jaminan dalam pembiayaan Mudharabah/Musyarakah dengan pembiayaan lain terutama yang berbasis jual beli (Murabahah, Salam, Istishna’) atau Kredit. Murabahah atau Kredit misalnya, bilamana pengembalian macet dengan alasan apapun, bank dapat meminta pengganti dana yang dikeluarkannya dengan pencairan jaminan/agunan.

Selebihnya berkenaan dengan penjaminan, terutama permasalahan administrasi pendaftaran serta pencatatan (security attachment), adalah sama sebagaimana penjaminan pada umumnya.[11]



[1] Afzalur rahman, doktrin ekonomi islam jilid VI, (Yogyakarta: PT Dhana Bhakti Wakaf, 1996) hal.381

[2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (Bandung: PT Al Ma’arif, 1995) hal.13

[3] M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT. Raya Grafindo Perkasa,1995). Hal.15

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid. Hal. 24

[7] M. Anwar Ibrahim, Konsep Profit And Loss Sharing System Menurut Empat Mazhab. Makalah ini didiskusikan mahasiswa jurusan Ekonomi Islam UIN dan Lembaga Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (LP3EI), (Jakarta,UIN 2002).

[8] Ibid. Hal.26

[9] M. Anwar Ibrahim, Op.cit. hal.2

[10] Adiwarman A. Karim, Bank Islam analisis fiqih dan keuangan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008) Hal. 205-206

2 komentar:

  1. How to Make Money from Baccarat - WORRione.com
    When playing baccarat, you worrione are most likely going to come across an assortment of money. Learn how to win when betting kadangpintar on 제왕카지노 baccarat today.

    BalasHapus
  2. The 13 Best Casinos in Las Vegas - Mapyro
    Best Casinos in Las Vegas · 1. Red Rock Hotel & Casino, Las Vegas, NV, 양주 출장안마 United States. · 2. Caesars Palace, Las Vegas, Nevada, 아산 출장샵 United States 영주 출장안마 · 3. 광주광역 출장샵 Beau Rivage, Atlantic City, 대구광역 출장샵

    BalasHapus